Sabtu, 19 Desember 2015

nasehat ke2 Habib Abdullah Allhaddad dalam kitab alhikam

Tidaklah meninggalkan kesempurnaan sedikit pun seseorang yang bisa menempatkan dirinya terhadap tuhannya seperti kedudukan budaknya terhadap dirinya.

Jumat, 18 Desember 2015

nasehat ke 1 habib Abdulloh Al Haddad dalam kitab Al Hikam

Sesungguhnya mahluk itu bersama Al Haq (Allah),dan setiap mahluk tidak akan luput dari dua daerah,yang pertama daerah rahmah sedangkan yang kedua daerah hukmah (hukuman Allah) Maka barang siapa di hari ini (alam dunia)selalu berada di daerah rohmah niscaya kelak (di akherat) akan berada di daerah fadl (keutamaan Allah), akan tetapi jika di hari ini (alam dunia) selalu berada di daerah hukmah (tempat turun murka Allah) niscaya kelak (di akherat) ia akan berada di daerah pengadilan Allah (untuk di mintai pertanggung jawaban atas perbuatannya

Rabu, 02 Desember 2015

undangan bulanan rutin

HADIRILAH GEMA SHOLAWAT & DZIKIR AKBAR BERSAMA MAJELIS ANNABAWIYAH HARI SABTU MALAM MINGGU TGL 5 DESEMBER TEMPAT : MASJID AGUNG ATSAUROH SERANG WAKTU : BA'DA SHOLAT ISYA.SEMOGA AKHI WA UKHTI DAPAT HADIR .SYUKRON KATSIR

Minggu, 06 September 2015

Ponpes annabawiyah







Semoga pembangunan ponpes annabawiyah berjalan lancar.amin
Bagi yang ingin ikut membantu dakwah kami dalam pembangunan ponpes dapat melalui rek bca ahmad al maujud
5410264457


Selasa, 05 Mei 2015

Link Mp3 ceramah Habib Taufiq Assegaf Pasuruan

ibak Tirai Kehidupan...Meny

Home » Tokoh Sufi » Imam Al-Ghazali: Sang Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali: Sang Hujjatul Islam

maqbaroh Imam al-Ghazali Imam Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Bin Muhammad Al-Ghazali, yang terkenal dengan Hujjatul Islam (argumentator Islam) karena jasanya yang besar di dalam menjaga Islam dari pengaruh ajaran bid’ah dan aliran rasionalisme Yunani. Beliau lahir pada tahun 450 H, bertepatan dengan 1059 M di Ghazalah, suatu kota kecil yang terlelak di Thus wilayah Khurasan yang waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia Islam. Para Ulama nasab berselisih pendapat dalam penyandaran nama Imam Ghazali ra, sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thus tempat kelahiran beliau ini dikuatkan oleh Al-Fayumi dalam Mishbahul Munir, penisbatan ini kepada salah seorang keturunan Imam Ghazali yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhammad bin Abi Thohir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah, anaknya Sitti Al-Mana Binti Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali yang mengatakan: "Bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan di tasydid (Al-Ghazzali)". Sebagian lagi mengatakan, penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian keluarganya yaitu menenun, sehingga nisbatnya di tasydid (Al-Ghazzali), demikian pendapat Ibnu Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi: "Tasydid dalam Al-Ghazzali adalah yang benar". Bahkan Ibnu Assam'ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata: "Saya telah bertanya kepada penduduk Thus tentang daerah Al-Ghazalah, dan mereka mengingkari keberadaannya." Wallahu a'lam. Tapi yang dijadikan sandaran para ahli nasab muta'akhirin adalah pendapat Ibnu Atsir dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Thabaqat Asy-Syafi'iyyah dan Siyar A'lam Nubala Adz-Dzahabi). Imam Abu Hamid Muhammad dilahirkan dari keluarga yang sangat sederhana, ayahnya adalah seorang pengrajin wol sekaligus sebagai pedagang hasil tenunannya, dan taat beragama, mempunyai semangat keagamaan yang tinggi, seperti terlihat pada simpatiknya kepada ulama dan mengharapkan anaknya menjadi ulama yang selalu memberi nasehat kepada umat. Itulah sebabnya, ayahnya sebelum wafat menitipkan anaknya (Imam al-Ghazali) dan saudaranya (Ahmad), ketika itu masih kecil dititipkan pada teman ayahnya, seorang ahli tasawuf untuk mendapatkan bimbingan dan didikan. Meskipun dibesarkan dalam keadaan keluarga yang sederhana, tidak menjadikan beliau merasa rendah atau malas, justru beliau semangat dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan, di kemudian hari beliau menjelma menjadi seorang ulama besar dan seorang sufi. Dan diperkirakan, Imam Ghazali hidup dalam kesederhanaan sebagai seorang sufi sampai usia 15 tahun (450 - 456 H). Kepada ayahnya beliau belajar Al Qur’an dan dasar-dasar ilmu keagamaan ynag lain, di lanjutkan di Thus dengan mempelajari dasar-dasar pengetahuan. Setelah beliau belajar pada teman ayahnya (seorang ahli tasawuf), ketika ayahnya tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan keduanya, beliau mengajarkan mereka masuk ke sekolah untuk memperoleh selain ilmu pengetahuan. Beliau mempelajari pokok Islam (Al Qur’an dan Sunnah Nabi). Diantara kitab-kitab hadits yang beliau pelajari, antara lain : a. Shahih Bukhori, beliau belajar dari Abu Sahl Muhammad bin Abdullah Al Hafshi b. Sunan Abi Daud, beliau belajar dari Al Hakim Abu Al Fath Al Hakimi c. Maulid An Nabi, beliau belajar dari Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al Khawani d. Shahih Al Bukhari dan Shahih Muslim, beliau belajar dari Abu Al Fatyan ‘Umar Al Ru’asai. Begitu pula diantaranya bidang-bidang ilmu yang dikuasai imam al-Ghazali (ushuluddin) ushul fiqh, mantiq, filsafat, dan tasawuf. Sebagaimana lazimnya waktu beliau belajar fiqh pada imam Haramain, beliau dalam belajar bersungguh-sungguh sampai mahir dalam madzhab, khilaf (perbedaan pendapat), perdebatan, mantik, membaca hikmah, dan falsafah, imam Haramain menyikapinya sebagai lautan yang luas. Setelah imam Haramain wafat, beliau pergi ke Baghdad dan mengajar di Nizhamiyah. Beliau mengarang tentang madzhab kitab al-basith, al-wasith, al-wajiz, dan al-khulashoh. Dalam ushul fiqh beliau mengarang kitab al-mustasfa, kitab al-mankhul, bidayatul hidayah, al-ma’lud fil khilafiyah, syifa'al alil fi bayani masa ilit dan kitab-kitab lain dalam berbagai fan. Antara tahun 465-470 H Imam Al-Ghazali belajar fiqih dan ilmu-ilmu dasar yang lain dari Ahmad Al- Radzaski di Thus, dan dari Abu Nasral Ismailli di Jurjan. Setelah Imam al-Ghazali kembali ke Thus, dan selama 3 tahun di tempat kelahirannya, beliau mengaji ulang pelajaran di Jurjan sambil belajar tasawuf kepada Yusuf An Nassaj (w. 487 H). Pada tahun itu Imam Al-Ghazali berkenalan dengan al-Juwaini dan memperoleh ilmu kalam dan mantiq. Menurut Abdul Ghofur Ismail Al-Farisi, Imam al-Ghazali menjadi pembahas paling pintar di zamannya. Imam Haramain merasa bangga dengan prestasi muridnya. Walaupun kemashuran telah diraih Imam al Ghazali, beliau tetap setia terhadap gurunya sampai dengan wafatnya pada tahun 478 H. sebelum al Juwaini wafat, beliau memperkenalkan Imam al Ghazali kepada Nidzham Al Mulk, perdana menteri Sultan Saljuk Malik Syah, Nidzham adalah pendiri madrasah an Nidzhamiyah. Di Naisabur ini Imam al Ghazali sempat belajar tasawuf kepada Abu Ali Al Faldl Ibn Muhammad Ibn Ali Al Farmadi (w. 477 H/1084 M). Setelah gurunya wafat, al Ghazali meninggalkan Naisabur menuju negeri Askar untuk berjumpa dengan Nidzham al Mulk. Di daerah ini beliau mendapat kehormatan untuk berdebat dengan ulama. Dari perdebatan yang dimenangkannya ini, namanya semakin populer dan disegani karena keluasan ilmunya. Pada tahun 484 H/1091 M, Imam al Ghazali diangkat menjadi guru besar di madrasah Nidzhamiyah, ini dijelaskan dalam bukunya al Munkiz min ad Dhalal. Selama mengajar di madrasah tersebut, dengan tekunnya Imam al Ghozali mendalami filsafat secara otodidak, terutama pemikiran al Farabi, Ibn Sina, Ibn Miskawih dan Ikhwan Al Shafa. Penguasaannya terhadap filsafat terbukti dalam karyanya seperti al Maqasid Falsafah Tuhaful al Falasiyah. Pada tahun 488 H/1095 M, Imam al Ghazali dilanda keraguan (skeptis) terhadap ilmu-ilmu yang dipelajarinya (hukum teologi dan filsafat). Keraguan pekerjaanya dan karya-karya yang dihasilkannya, sehingga beliau menderita penyakit selama dua bulan dan sulit diobati. Karena itu, Imam al Ghazali tidak dapat menjalankan tugasnya sebagai guru besar di madrasah Nidzhamiyah, yang akhirnya beliau meninggalkan Baghdad menuju kota Damaskus. Selama kira-kira dua tahun Imam al Ghazali di kota Damaskus, beliau melakukan uzlah, riyadhah, dan mujahadah. Kemudian beliau pindah ke Bait al Maqdis Palestina untuk melakukan ibadah serupa. Sektelah itu tergerak hatinya untuk menunaikan ibadah haji dan menziarahi maqam Rasulullah Saw. Sepulang dari tanah suci, Imam al Ghazali mengunjungi kota kelahirannya di Thus, disinilah beliau tetap berkhalwat dalam keadaan skeptis sampai berlangsung selama 10 tahun. Pada periode itulah beliau menulis karyanya yang terkenal "Ihya' Ulumuddin"/the revival of the religious (menghidupkan kembali ilmu agama). Di kota inilah (Thus) beliau wafat pada tahun 505 H / 1 desember 1111 M. Abul Fajar al-Jauzi dalam kitabnya al Asabat ‘inda Amanat mengatakan, Ahmad saudaranya Imam al Ghazali berkata pada waktu shubuh, Abu Hamid berwudhu dan melakukan shalat, kemudian beliau berkata: "Ambillah kain kafan untukku", kemudian ia mengambil dan menciumnya lalu meletakkan diatas kedua matanya, beliau berkata: "Aku mendengar dan taat untuk menemui Al Malik", kemudian menjulurkan kakinya dan menghadap kiblat. Imam al Ghazali yag bergelar Hujjatul Islam itu meninggal dunia menjelang matahari terbit di kota kelahirannya (Thus) pada hari senin 14 Jumadil Akhir 505 H (1111 M). Imam al Ghazali dimakamkan di Zhahir al Tabiran, ibu kota Thus. Guru dan Panutan Imam Al Ghazali Imam al Ghazali dalam perjalanan menuntut ilmunya mempunyai banyak guru, diantaranya guru-guru imam Al Ghazali sebagai berikut : Abu Sahl Muhammad Ibn Abdullah Al Hafsi, beliau mengajar imam Al Ghazali dengan kitab Shahih Bukhari. Abul Fath Al Hakimi At Thusi, beliau mengajar Imam Al Ghazali dengan kitab Sunan Abi Daud. Abdullah Muhammad Bin Ahmad Al Khawari, beliau mengajar Imam al Ghazali dengan kitab Maulid an Nabi. Abu Al Fatyan ‘Umar Al Ru’asi, beliau mengajar Imam Al Ghazali dengan kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim. Dengan demikian guru-guru Imam al Ghazali tidak hanya mengajar dalam bidang tasawuf saja, akan tetapi beliau juga mempunyai guru-guru dalam bidang lainnya, bahkan kebanyakan guru-guru beliau dalam bidang hadits. Murid-Murid Imam al Ghazali Imam al Ghazali mempunyai banyak murid, karena beliau mengajar di madrasah Nidzhamiyah di Naisabur, diantara murid-murid beliau adalah : Abu Thahir Ibrahim Ibn Muthahir Al Syebbak Al Jurjani (w. 513 H). Abu Fath Ahmad Bin Ali Bin Muhammad Bin Burhan (474-518 H), semula beliau bermadzhab Hambali, kemudian setelah beliau belajar kepada Imam al Ghazali, beliau bermadzhab Syafi’i. Diantara karya-karya beliau; al Ausath, al Wajiz, dan al Wushul. Abu Thalib, Abdul Karim Bin Ali Bin Abi Thalib Al Razi (w. 522 H), beliau mampu menghafal kitab Ihya’ Ulumuddin. Disamping itu beliau juga mempelajari fiqh kepada Imam al Ghazali. Abu Hasan Al Jamal Al Islam, Ali Bin Musalem Bin Muhammad Assalami (w. 541 H). Karyanya; Ahkam al Khanatsi. Abu Mansur Said Bin Muhammad Umar (462-539 H), beliau belajar fiqh pada imam al Ghazali sehingga menjadi ‘ulama besar di Baghdad. Abu Hasan Sa’ad Al Khaer Bin Muhammad Bin Sahl Al Anshari Al Maghribi Al Andalusi (w. 541 H). beliau belajar fiqh pada Imam al Ghazali di Baghdad. Abu Said Muhammad Bin Yahya Bin Mansur Al Naisabur (476-584 H), beliau belajar fiqh pada imam al Ghazali, diantara karya-karya beliau adalah al Mukhit fi Sarh al Wasith fi Masa'il, al Khilaf. Abu Abdullah Al Husain Bin Hasr Bin Muhammad (466-552 H), beliau belajar fiqh pada Imam al Ghazali. Diantara karya-karya beliau adalah; Minhaj al Tauhid dan Tahrim al Ghibah. Imam al Ghazali memiliki banyak murid. Diantara murid-murid beliau kebanyakan belajar fiqh. Bahkan diantara murid- murid beliau menjadi ulama besar dan pandai mengarang kitab. Karya-Karya Imam Al Ghazali Imam al Ghazali termasuk penulis yang tidak terbandingkan lagi, karya Imam al Ghazali diperkirakan mencapai 300 kitab, diantaranya adalah : Maqhasid al falasifah (tujuan para filosuf), sebagai karangan yang pertama dan berisi masalah-masalah filsafah. Tahaful al falasifah (kerancuan pikiran para filosuf) buku ini dikarang sewaktu beliau berada di Baghdad di kala jiwanya di landa keragu-raguan. Dalam buku ini Al Ghazali mengancam filsafat dan para filosuf dengan keras. Miyar al ‘ilmi/miyar almi (kriteria ilmu-ilmu). Ihya’ ulumuddin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama). Kitab ini merupakan karyanya yang terbesar selama beberapa tahun ,dalam keadaan berpindah-pindah antara Damaskus, Yerusalem, Hijaz, Dan Thus yang berisi panduan fiqih, tasawuf dan filsafat. Al munqiz min al dhalal (penyelamat dari kesesatan) kitab ini merupakan sejarah perkembangan alam pikiran Al Ghazali sendiri dan merefleksikan sikapnya terhadap beberapa macam ilmu serta jalan mencapai Tuhan. Ma’arif al-aqliyah (pengetahuan yang rasional) Miskyat al anwar (lampu yang bersinar), kitab ini berisi pembahasan tentang akhlak dan tasawuf. Minhaj al abidin (jalan mengabdikan diri terhadap Tuhan). iqtishad fi al i’tiqod (modernisasi dalam aqidah). Ayyuha al walad. Al musytasyfa Ilham al awwam an ‘ilmal kalam. Mizan al amal. Akhlak al abros wa annajah min al asyhar (akhlak orang-orang baik dan kesalamatan dari kejahatan). Assrar ilmu addin (rahasia ilmu agama). Al washit (yang pertengahan) . Al wajiz (yang ringkas). Az-zariyah ilaa’ makarim asy syahi’ah (jalan menuju syariat yang mulia) Al hibr al masbuq fi nashihoh al mutuk (barang logam mulia uraian tentang nasehat kepada para raja). Al mankhul minta’liqoh al ushul (pilihan yang tersaing dari noda-noda ushul fiqih). Syifa al qolil fibayan alsyaban wa al mukhil wa masalik at ta’wil (obat orang dengki penjelasan tentang hal-hal samar serta cara-cara penglihatan). Tarbiyatul aulad fi islam (pendidikan anak di dalam islam) Tahzib al ushul (elaborasi terhadap ilmu ushul fiqih). Al ikhtishos fi al ‘itishod (kesederhanaan dalam beri’tiqod). Yaaqut at ta’wil (permata ta’wil dalam menafsirkan al Qur’an). Kesetiaan Imam Al-Gazhali Kepada Gurunya Walaupun kemasyhuran telah diraih Imam al-Ghazali, beliau tetap setia terhadap gurunya dan tidak meninggalkannya sampai dengan wafatnya pada tahun 478 H. Sebelum al-Juwami wafat, beliau memperkenalkan Imam al-Ghazali kepada Nidzam al Mulk, perdana menteri sultan Saljuk Malik Syah, Nidham adalah pendiri madrasah al-Nidzamiyah. Di Naisabur ini Imam al-Ghazali sempat belajar tasawuf kepada Abu Ali Al Fadl Ibn Muhammad Ibn Ali Al Farmadi (w. 477 H/1084 M). Setelah gurunya wafat, Al Ghazali meninggalkan Naisabur menuju negri Askar untuk berjumpa dengan Nidzham Al Mulk. Di daerah ini beliau mendapat kehormatan untuk berdebat dengan para ulama. Dari perdebatan yang dimenangkan ini, namanya semakin populer dan disegani karena keluasan ilmunya. Pada tahun 484 H/1091 M, Imam al-Ghazali diangkat menjadi guru besar di madrasah Nidzamiyah. Selama mengajar di madrasah, dengan tekunnya Imam al Ghazali mendalami filsafat secara otodidak, terutama pemikiran al Farabi, Ibn Sina, Ibn Miskawih dan Ikhwan Al Shafa. Penguasaannya terhadap filsafat terbukti dalam karyanya seperti Falsafah Tuhfatul Al Falasifah. Pada tahun 488 H/1095 M, Imam al Ghazali dilanda keraguan (skeptis) terhadap ilmu-ilmu yang dipelajari (hukum teologi dan filsafat). Keraguan pekerjaannya dan karya-karya yang dihasilkannya, sehingga beliau menderita penyakit selama dua bulan. Wafatnya Imam al-Ghazali Kubur Imam al-Ghazali yang sebenarnya telah dijumpai oleh para arkeolog Khurasan pada tahun 1995 di Tus. Imam al-Ghazali wafat pada Senin pagi, 14 Jumadil Akhir 505H/19 Desember 1111M di Tus dengan kitab hadits di dadanya. Jenazah beliau dikebumikan di makam al-Tabaran, bersebelahan dengan makam penyair besar yang terkenal, Firdausi. Diceritakan bahwa Syaikh Abul Hasan as-Syadzili bermimpi bahwa dia melihat Rasulullah Saw menunjukkan Imam al-Ghazali kepada Nabi Musa as dan Nabi Isa as, sambil bertanya kepada mereka berdua, “Adakah terdapat orang alim yang bijaksana dalam umat kalian berdua?” Jawab keduanya tidak ada. Wallohu Ta'ala A'lam.

Home » Tokoh Sufi » Syaikh Ibnu Atha'illah as-Sakandari: Pengarang Al-Hikam Syaikh Ibnu Atha'illah as-Sakandari: Pengarang Al-Hikam

Pengarang kitab al-Hikam yang cukup populer di negeri kita ini adalah Tajuddin, Abu al-Fadl, Ahmad bin Muhammad bin Abd al-Karim bin Atho' al-Sakandari al-Judzami al-Maliki as-Syadzili. Ia berasal dari bangsa Arab. Nenek moyangnya berasal dari Judzam yaitu salah satu Kabilah Kahlan yang berujung pada Bani Ya'rib bin Qohton, bangsa Arab yang terkenal dengan Arab al-Aa'ribah. Kota Iskandariah merupakan kota kelahiran sufi besar ini. Suatu tempat di mana keluarganya tinggal dan kakeknya mengajar. Kendatipun namanya hingga kini demikian harum, namun kapan sufi agung ini dilahirkan tidak ada catatan yang tegas. Dengan menelisik jalan hidupnya DR. Taftazani bisa menengarai bahwa ia dilahirkan sekitar tahun 658 sampai 679 H. Ayahnya termasuk semasa dengan Syaikh Abu Hasan as-Syadzili - pendiri Tarekat Syadziliyyah - sebagaimana diceritakan Ibnu Atho' dalam kitabnya "Lathoiful Minan": "Ayahku bercerita kepadaku, suatu ketika aku menghadap Syaikh Abu Hasan as-Syadzili, lalu aku mendengar beliau mengatakan: "Demi Allah... kalian telah menanyai aku tentang suatu masalah yang tidak aku ketahui jawabannya, lalu aku temukan jawabannya tertulis pada pena, tikar dan dinding." Keluarga Ibnu Atho' adalah keluarga yang terdidik dalam lingkungan agama, kakek dari jalur nasab ayahnya adalah seorang ulama fiqih pada masanya. Tajuddin remaja sudah belajar pada ulama tingkat tinggi di Iskandariyah, seperti al-Faqih Nasiruddin al-Mimbar al-Judzami. Kota Iskandariyah pada masa Ibnu Atho' memang salah satu kota ilmu di semenanjung Mesir, karena Iskandariyah banyak dihiasi oleh banyak ulama dalam bidang fiqih, hadits, usul, dan ilmu-ilmu bahasa arab, tentu saja juga memuat banyak tokoh-tokoh tasawuf dan para Auliya' Sholihin. Oleh karena itu tidak mengherankan bila Ibnu Atho'illah tumbuh sebagai seorang faqih, sebagaimana harapan dari kakeknya. Namun kefaqihannya terus berlanjut sampai pada tingkatan tasawuf. Hal mana membuat kakeknya secara terang-terangan tidak menyukainya. Ibnu Atho' menceritakan dalam kitabnya "Latho'iful Minan": "Bahwa kakeknya adalah seorang yang tidak setuju dengan tasawuf, tapi mereka sabar akan serangan dari kakeknya. Di sinilah guru Ibnu Atho' yaitu Syaikh Abul Abbas al-Mursi mengatakan: "Kalau anak dari seorang alim fiqih Iskandariyah (Ibnu Atho'illah) datang ke sini, tolong beritahu aku", dan ketika aku datang, al-Mursi mengatakan: "Malaikat Jibril telah datang kepada Nabi Saw bersama dengan malaikat penjaga gunung ketika orang quraisy tidak percaya pada Nabi Saw. Malaikat penjaga gunung lalu menyalami Nabi Saw dan mengatakan: "Wahai Muhammad.. kalau engkau mau, maka aku akan timpakan dua gunung pada mereka." Dengan bijak Nabi Saw mengatakan: "Tidak... aku mengharap agar kelak akan keluar orang-orang yang bertauhid dan tidak musyrik dari mereka." Begitu juga, kita harus sabar akan sikap kakek yang alim fiqih (kakek Ibnu Atho'illah) demi orang yang alim fiqih ini." Pada akhirnya Ibnu Atho' memang lebih terkenal sebagai seorang sufi besar. Namun menarik juga perjalanan hidupnya, dari didikan yang murni fiqih sampai bisa memadukan fiqih dan tasawuf. Oleh karena itu buku-buku biografi menyebutkan riwayat hidup Ibnu Atho'illah menjadi tiga masa : Masa pertama Masa ini dimulai ketika ia tinggal di Iskandariyah sebagai pencari ilmu agama seperti tafsir, hadits, fiqih, ushul, nahwu dan lain-lain dari para alim ulama di Iskandariyah. Pada periode itu beliau terpengaruh pemikiran-pemikiran kakeknya yang mengingkari para ahli tasawuf karena kefanatikannya pada ilmu fiqih, dalam hal ini Ibnu Atho'illah bercerita: "Dulu aku adalah termasuk orang yang mengingkari Abu Abbas al-Mursi, yaitu sebelum aku menjadi murid beliau." Pendapat saya waktu itu bahwa yang ada hanya ulama ahli dzahir, tapi mereka (ahli tasawuf) mengklaim adanya hal-hal yang besar, sementara dzahir syari'at menentangnya." Masa kedua Masa ini merupakan masa paling penting dalam kehidupan sang guru pemburu kejernihan hati ini. Masa ini dimulai semenjak ia bertemu dengan gurunya, Syaikh Abu Abbas al-Mursi, tahun 674 H, dan berakhir dengan kepindahannya ke Kairo. Dalam masa ini sirnalah keingkarannya terhadap ulama' tasawuf. Ketika bertemu dengan al-Mursi, ia jatuh kagum dan simpati. Akhirnya ia mengambil tarekat langsung dari gurunya ini. Ada cerita menarik mengapa ia beranjak memilih dunia tasawuf ini. Suatu ketika Ibn Atho' mengalami goncangan batin, jiwanya tertekan. Dia bertanya-tanya dalam hatinya : "Apakah semestinya aku membenci tasawuf. Apakah suatu yang benar kalau aku tidak menyukai Abu Abbas al-Mursi? Setelah lama aku merenung, mencerna akhirnya aku beranikan diriku untuk mendekatinya, melihat siapa al-Mursi sesungguhnya, apa yang ia ajarkan sejatinya. Kalau memang ia orang baik dan benar maka semuanya akan kelihatan. Kalau tidak demikian halnya biarlah ini menjadi jalan hidupku yang tidak bisa sejalan dengan tasawuf. Lalu aku datang ke majelisnya. Aku mendengar, menyimak ceramahnya dengan tekun tentang masalah-masalah syara'. Tentang kewajiban, keutamaan dan sebagainya. Di sini jelas semua bahwa ternyata al-Mursi yang kelak menjadi guru sejatiku ini mengambil ilmu langsung dari Tuhan. Dan segala puji bagi Allah, Dia telah menghilangkan rasa bimbang yang ada dalam hatiku." Maka demikianlah, ketika ia sudah mencicipi manisnya tasawuf, hatinya semakin tertambat untuk masuk ke dalam dan lebih dalam lagi. Sampai-sampai ia punya dugaan tidak akan bisa menjadi seorang sufi sejati kecuali dengan masuk ke dunia itu secara total, menghabiskan seluruh waktunya untuk sang guru dan meninggalkan aktivitas lain. Namun demikian ia tidak berani memutuskan keinginannya itu kecuali setelah mendapatkan izin dari sang guru. Dalam hal ini Ibnu Atho'illah menceritakan: "Aku menghadap guruku al-Mursi, dan dalam hatiku ada keinginan untuk meninggalkan ilmu dzahir. Belum sempat aku mengutarakan apa yang terbersit dalam hatiku ini tiba-tiba beliau mengatakan: "Di kota Qous aku mempunyai kawan namanya Ibnu Naasyi'. Dulu dia adalah pengajar di Qous dan sebagai wakil penguasa. Dia merasakan sedikit manisnya tarekat kita. Kemudian ia menghadapku dan berkata : "Tuanku... apakah sebaiknya aku meninggalkan tugasku sekarang ini dan berkhidmat saja pada tuan?" Aku memandangnya sebentar kemudian aku katakan : "Tidak demikian itu tarekat kita. Tetaplah dengan kedudukan yang sudah di tentukan Allah padamu. Apa yang menjadi garis tanganmu akan sampai padamu juga." Setelah bercerita semacam itu yang sebetulnya adalah nasehat untuk diriku beliau berkata: "Beginilah keadaan orang-orang Shiddiqin. Mereka sama sekali tidak keluar dari suatu kedudukan yang sudah ditentukan Allah sampai Dia sendiri yang mengeluarkan mereka." Mendengar uraian panjang lebar semacam itu aku tersadar dan tidak bisa mengucapkan sepatah katapun. Dan alhamdulillah Allah telah menghapus angan kebimbangan yang ada dalam hatiku, sepertinya aku baru saja melepas pakaianku. Aku pun rela tenang dengan kedudukan yang diberikan oleh Allah." Masa ketiga Masa ini dimulai semenjak kepindahan Ibn Atho' dari Iskandariyah ke Kairo. Dan berakhir dengan kepindahannya ke haribaan Yang Maha Asih pada tahun 709 H. Masa ini adalah masa kematangan dan kesempurnaan Ibnu Atho'illah dalam ilmu fiqih dan ilmu tasawuf. Ia membedakan antara uzlah dan khalwat. Uzlah menurutnya adalah pemutusan (hubungan) maknawi bukan hakiki, lahir dengan makhluk, yaitu dengan cara si Salik (orang yang uzlah) selalu mengontrol dirinya dan menjaganya dari perdaya dunia. Ketika seorang sufi sudah mantap dengan uzlah-nya dan nyaman dengan kesendiriannya ia memasuki tahapan khalwat. Dan khalwat dipahami dengan suatu cara menuju rahasia Tuhan, khalwat adalah perendahan diri dihadapan Allah dan pemutusan hubungan dengan selain Allah SWT. Menurut Ibnu Atho'illah, ruangan yang bagus untuk berkhalwat adalah yang tingginya, setinggi orang yang berkhalwat tersebut. Panjangnya sepanjang ia sujud. Luasnya seluas tempat duduknya. Ruangan itu tidak ada lubang untuk masuknya cahaya matahari, jauh dari keramaian, pintunya rapat, dan tidak ada dalam rumah yang banyak penghuninya. Ibnu Atho'illah sepeninggal gurunya Syaikh Abu Abbas al-Mursi tahun 686 H, menjadi penggantinya dalam mengembangkan Tarekat Syadziliyah. Tugas ini ia emban di samping tugas mengajar di kota Iskandariyah. Maka ketika pindah ke Kairo, ia bertugas mengajar dan ceramah di Masjid al-Azhar. Ibnu Hajar berkata: "Ibnu Atho'illah berceramah di al-Azhar dengan tema yang menenangkan hati dan memadukan perkatan-perkatan orang kebanyakan dengan riwayat-riwayat dari salafus shalih, juga berbagai macam ilmu. Maka tidak heran kalau pengikutnya berjubel dan beliau menjadi simbol kebaikan." Hal senada diucapkan oleh Ibnu Tagri Baradi : "Ibnu Atho'illah adalah orang yang shalih, berbicara di atas kursi Azhar, dan dihadiri oleh hadirin yang banyak sekali. Ceramahnya sangat mengena dalam hati. Dia mempunyai pengetahuan yang dalam akan perkataan ahli hakikat dan orang-orang ahli tarekat." Termasuk tempat mengajar beliau adalah Madrasah al-Mansuriyah di Hay al-Shoghoh. Beliau mempunyai banyak anak didik yang menjadi seorang ahli fiqih dan tasawuf, seperti Imam Taqiyyuddin as-Subki, ayah Tajuddin al-Subki, pengarang kitab "Tobaqoh al-Syafi'iyyah al-Kubro". Sebagai seorang sufi yang alim, Ibn Atho' meninggalkan banyak karangan sebanyak 22 kitab lebih. Mulai dari sastra, tasawuf, fiqih, nahwu, mantiq, falsafah sampai khitobah. Karomah Ibnu Atho'illah Al-Munawi dalam kitabnya "Al-Kawakib ad-Durriyyah mengatakan: "Syaikh Kamal Ibnu Humam ketika ziarah ke makam wali besar ini membaca Surat Hud sampai pada ayat yang artinya: "Diantara mereka ada yang celaka dan bahagia..." Tiba-tiba terdengar suara dari dalam liang kubur Ibnu Atho'illah dengan keras: "Wahai Kamal... tidak ada diantara kita yang celaka." Demi menyaksikan karomah agung seperti ini Ibnu Humam berwasiat supaya dimakamkan dekat dengan Ibnu Atho'illah ketika meninggal kelak. Di antara karomah pengarang kitab al-Hikam adalah, suatu ketika salah satu murid beliau berangkat haji. Di sana si murid itu melihat Ibnu Atho'illah sedang thawaf. Dia juga melihat sang guru ada di belakang maqam Ibrahim as, di Mas'aa dan Arafah. Ketika pulang, dia bertanya pada teman-temannya apakah sang guru pergi haji atau tidak. Si murid langsung terperanjat ketika mendengar teman-temannya menjawab "Tidak". Kurang puas dengan jawaban mereka, dia menghadap sang guru. Kemudian pembimbing spiritual ini bertanya: "Siapa saja yang kamu temui?" lalu si murid menjawab: "Tuanku... saya melihat tuanku di sana." Dengan tersenyum al-Arif Billah ini menerangkan: "Orang besar itu bisa memenuhi dunia. Seandainya saja Wali Qutb di panggil dari liang tanah, dia pasti menjawabnya." Tahun 709 H adalah tahun kemalangan dunia maya ini. Karena tahun tersebut wali besar yang tetap abadi nama dan kebaikannya ini harus beralih ke alam barzah, lebih mendekat pada Sang Pencipta. Namun demikian madrasah al-Mansuriyyah cukup beruntung karena di situlah jasad mulianya berpisah dengan sang nyawa. Ribuan pelayat dari Kairo dan sekitarnya mengiring kekasih Allah ini untuk dimakamkan di pemakaman al-Qorrofah al-Kubro.

Home » Tokoh Sufi » Syaikh Abu Abbas al-Mursi: Khalifah Besar Syadziliyah Syaikh Abu Abbas al-Mursi: Khalifah Besar Syadziliyah

Wali Qutb kita ini adalah al-Imam Syihabuddin Abu al-Abbas, Ahmad bin Umar al-Anshori, al-Mursi ra. sebagian ahli sejarah ada yang mengatakan bahwa nasab beliau sampai pada sahabat Sa'ad bin Ubadah ra, pemimpin suku Khazraj. Al-Mursi dilahirkan tahun 616 H (1219 M) di kota Marsiyyah, salah satu kota di Andalus Spanyol. Al-Mursi melewatkan masa kecilnya yang penuh berkah di tanah kelahirannya itu. Lazimnya seorang alim dan pendidik, ayahnya mengirim al-Mursi kecil kepada salah satu waliyullah untuk membimbing menghafal Al Qur'an dan mengajarinya ilmu-ilmu agama. Secepat kilat terlihat kehebatan dan kecerdasannya. Lebih dari itu ia yang masih sekecil itu telah memperoleh anugrah Allah berupa cahaya ilahi yang merasuk dalam kalbunya. Suatu ketika al-Mursi bercerita: "Ketika aku masih usia kanak-kanak aku mengaji pada seorang guru. Aku menorehkan coretan pada papan. Lalu guru tadi mengatakan: "Seorang Sufi tidak pantas menghitamkan yang putih." Seketika aku menjawab: "permasalahannya bukan seperti yang Tuan sangka. Tapi yang benar adalah seorang Sufi tidak pantas menghitamkan putihnya lembaran hidup dengan noda dan dosa." Al-Mursi kecil juga mengatakan: "Ketika aku masih kanak-kanak, di sebelah rumahku ada tukang penguak rahasia (peramal) lalu aku mendekatinya. Besoknya aku datang ke guruku yang termasuk waliyullah. Maka guruku itu mengatakan padaku satu syair: "Wahai orang yang melihat peramal sembari terkesima. Dia sendiri sebetulnya peramal, kalau dia merasa. Al-Mursi meneruskan hidupnya pada jalan cahaya ilahi sampai menginjak dewasa. Semakin hari semakin tambah ketakwaan dan keimanannya. Ayahnya melihatnya sebagai kebanggaan tersendiri. Maka dia dipercaya oleh ayahnya untuk mengelola perdagangannya bersama saudaranya Muhammad Jalaluddin. Dengan begitu, ia telah mengikuti jejak orang-orang saleh dalam hal menggabungkan antara ibadah dan mencari rizqi. Demi menjaga amanat ini ia rela berpindah-pindah tempat dari kota Marsiyah ke kota lainnya untuk berniaga, sambil hatinya berdetak mengingat Allah SWT. Pada tahun 640 H kedua orang tuanya bersama seluruh keluarga berkeinginan menunaikan ibadah haji. Tapi sayang, takdir berbicara lain. Sesampainya di pesisir Barnih, kapal mereka terkena gelombang. Banyak penumpang kapal yang meninggal termasuk kedua orang tuanya. Singkat cerita al-Mursi muda dan saudaranya melanjutkan perjalanannya ke Tunis untuk berdagang, meneruskan usaha ayahnya. Al-Mursi menceritakan perjumpaannya dengan Syaikh Abu Hasan as-Syadzili sebagai berikut: "Ketika aku tiba di Tunis, waktu itu aku masih muda, aku mendengar akan kebesaran Syaikh Abu Hasan. Lalu ada seseorang yang mengajakku menghadap beliau. Maka aku jawab: "Aku mau beristikharah dulu!" Setelah itu aku tertidur dan bermimpi melihat seorang lelaki yang mengenakan jubah (Burnus) hijau sambil duduk bersila. Di samping kanannya ada seorang laki-laki begitu juga di samping kirinya. Aku memandangi lelaki nan berwibawa itu. Sejurus kemudian lelaki itu berkata: "Aku telah menemukan penggantiku sekarang"! Di saat itulah aku terbangun. Selesai menunaikan sholat subuh, seseorang yang mengajakku mengunjungi Syaikh Abu Hasan datang lagi. Maka kami berdua pergi ke kediaman Syaikh Abu Hasan as-Syadzili. Aku heran begitu melihatnya. Syaikh yang ada di hadapanku inilah yang aku lihat dalam mimpi. Dan keherananku semakin menjadi ketika Syaikh Abu Hasan berkata padaku: "Telah aku temukan penggantiku sekarang." Persis seperti dalam mimpiku. Selanjutnya beliau bilang: "Siapa namamu?" Lalu aku sebutkan namaku. Dengan tenang dan penuh kewibawaan beliau berujar: "Engkau telah ditunjukkan padaku semenjak 20 tahun yang lalu!". Semenjak kejadian itu al-Mursi terus mendapatkan wejangan-wejangan dari gurunya Syaikh Abu Hasan ini. Mereka berdua membangun pondok (zawiyah) Zaghwan di daerah Tunis, di mana as-Syadzili menyebarkan ilmu kepada murid-muridnya yang beraneka ragam latar belakang dan profesinya. Ada dari kalangan ulama', pedagang juga orang awam. Syaikh as-Syadzili sebetulnya sudah lama meninggalkan Tunis. Ia pergi ke Iskandariyah kemudian ke Mekkah. Kembalinya ke Tunis lagi ini membuat orang bertanya-tanya. Dalam hal ini dia menjawab: "Yang membuatku kembali lagi ke Tunis tidak lain adalah laki-laki muda ini (maksudnya Abu 'Abbas al-Mursi)". Setelah itu Syaikh as-Syadzili kembali lagi ke Iskandariyah, karena ada perintah dari Nabi Muhammad Saw dalam mimpinya. Ada cerita dari al-Mursi tentang perjalanan ke Iskandariyah ini: "Ketika aku menemani Syaikh dalam perjalanan menuju ke Iskandariyah, aku merasa sangat susah sehingga aku tidak mampu menanggungnya. Lalu aku menghadap Syaikh. Ketika beliau melihat penderitaanku ini, beliau berkata: "Hai Ahmad...!", aku menjawab: "Iya Tuanku", Beliau berkata: "Allah telah menciptakan Adam as dengan tangan-Nya, dan memerintahkan malaikat-Nya untuk bersujud padanya. Allah kemudian menempatkannya di dalam surga, lalu menurunkannya ke bumi. Demi Allah... Allah tidak menurunkannya ke bumi untuk mengurangi derajatnya, tapi justru untuk menyempurnakannya. Allah telah menggariskan penurunannya ke bumi sebelum Dia menciptakannya, sebagaimana firmannya: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi".. (QS. 2:30). Allah tidak mengatakan di langit atau di surga. Maka turunnya Adam ke bumi adalah untuk memuliakannya bukan untuk merendahkannya, karena Adam menyembah Allah di surga dengan di beri tahu (Ta'rif) lalu diturunkan ke bumi supaya beribadah pada Allah dengan kewajiban (Taklif), ketika dia telah mendapatkan kedua ibadah tadi, maka pantaslah dia menyandang gelar pengganti (Khalifah). Engkau ini juga punya kemiripan dengan Adam. Mula-mula kamu ada di langit ruh, di surga pemberitahuan (Ta'rif) lalu engkau diturunkan ke bumi nafsu supaya engkau menyembah dengan kewajiban (Taklif). Ketika engkau telah sempurna dalam kedua ibadah itu pantaslah engkau menyandang gelar pengganti (Khalifah)". Begitulah Syaikh As-Syadzili mengantarkan Al-Mursi menuju ke jalan Allah demi memenuhi hatinya dengan rahasia ilahiyah supaya kelak bisa menggantikannya, bahkan bisa dikatakan supaya dia jadi Syaikh Abu Hasan itu sendiri. Sebagaimana Syaikh as-Syadzili sendiri pernah mengatakan: "Wahai Abu Abbas... demi Allah, aku tidak mengangkatmu sebagai teman kecuali supaya kamu itu adalah aku, dan aku adalah kamu. Wahai Abu Abbas.. demi Allah, apa yang ada dalam diri para wali itu ada dalam dirimu, tapi yang ada pada dirimu itu tidak ada dalam diri para wali lainnya." Persatuan antara keduanya ini di jelaskan oleh Syaikh Ibnu Atha'illah as-Sakandari: "Suatu ketika Syaikh as-Syadzili ada di rumah Zaki as-Sarroj, sedang mengajar kitab al-Mawaqif karangan al-Nafari, lalu beliau bertanya: "Kemana Abu Abbas?" Ketika Syaikh al-Mursi datang, beliau berkata: "Wahai anakku... bicaralah! Semoga Allah memberkahimu... bicaralah! jangan diam", maka Syaikh Abu Abbas mengatakan: "Lalu aku di beri lidah Syaikh mulai saat itu." Pada banyak kesempatan Syaikh as-Syadzili memuji ketinggian kedudukan Syaikh al-Mursi, beliau mengatakan: "Inilah Abu Abbas, semenjak dia sampai pada makrifatullah tidak ada halangan antara dirinya dan Allah SWT. Kalau saja dia meminta untuk ditutupi, pasti permintaan itu tidak akan dikabulkan. Ketika ada perselisihan antara Syaikh al-Mursi dengan Syaikh Zakiyyuddin al-Aswani, Syaikh as-Syadzili bekata: "Wahai Zaki... berpeganglah pada Abu Abbas, karena demi Allah, semua wali telah ditunjukkan oleh Allah akan diri Abu Abbas ini. Hai Zaki... Abu Abbas itu seorang laki-laki yang sempurna." Hal yang sama juga terjadi ketika ada perselisihan antara Syaikh al-Mursi dengan Nadli bin Sulton. Syaikh as-Syadzili mengatakan: "Wahai Nadli... tetaplah bersopan santun pada Abu Abbas! Demi Allah, dia itu lebih tahu lorong-lorong langit, dibanding pengetahuanmu akan lorong-lorong kota Iskandariyah!" Syaikh as-Syadzili juga mengatakan: "Kalau aku mati, maka ambillah al-Mursi, karena dia adalah penggantiku, dia akan mempunyai kedudukan tinggi di hadapan kalian, dan dia adalah salah satu pintu Allah." Imam Sya'rani menceritakan bahwa suatu ketika ada seseorang yang mengingkari keilmuan Syaikh al-Mursi. Orang tersebut mengatakan: "Berbicara tentang ilmu yang ada itu hanya ilmu lahir, tetapi mereka, orang-orang sufi itu mengaku mengetahui hal-hal yang diingkari oleh syara'". Di kesempatan yang lain orang ini menghadiri majlis Syaikh al-Mursi. Tiba-tiba dia jadi bingung hilang kepintarannya. Seketika itu juga ia tidak mengingkari adanya ilmu batin. Dengan sadar dan penuh sesal ia berkata: "Laki-laki ini sungguh telah mengambil lautan ilmu Tuhan dan tangan Tuhan." Akhirnya dia menjadi salah satu murid dekat al-Mursi. Syaikh Abu Abbas mengatakan : "Kami orang-orang sufi mengkaji dan mendalami bersama ulama' fiqih bidang spesialisasi mereka, tapi mereka tidak pernah masuk dalam bidang spesialisasi kami." Rupanya kealiman al-Mursi tidak terbatas pada ilmu fiqih dan tasawuf. Syaikh Ibnu Atha'illah menceritakan dari Syaikh Najmuddin al-Asfahani: "Syaikh Abu Abbas berkata padaku: "Apa namanya ini dan itu dalam bahasa asing?" Tersirat dalam hatiku bahwa Syaikh ingin mengetahui bahasa ajam maka aku ambilkan kamus terjemah. Beliau bertanya: " Kitab apa ini?", Aku jawab: "Ini kitab kamusnya." Lalu Syaikh tersenyum dan berkata: "Tanyakan padaku apa saja, terserah kamu, nanti aku jawab dengan bahasa arab, atau sebaliknya." Lalu aku bertanya dengan bahasa asing dan beliau menjawab dengan memakai bahasa Arab. Kemudian aku bertanya dengan bahasa Arab, beliau menjawab dengan bahasa asing. Beliau berkata: " Wahai Abdullah... ketika aku bertanya seperti itu tidak lain adalah sekedar basa-basi bukan bertanya sesungguhnya. Bagi wali tidak ada yang sulit, bahasa apapun itu." Dalam penafsiran ayat "Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada-Mu lah kami mohon pertolongan." (QS. 1:5), al-Mursi menafsiri sebagai berikut, "Hanya Engkaulah yang kami sembah maksudnya adalah Syari'ah, dan hanya kepada-Mulah kami memohon adalah Haqiqah. Hanya Engkaulah yang kami sembah adalah Islam, dan hanya kepada-Mu lah kami mohon pertolongan adalah Ihsan. Hanya Engkaulah yang kami sembah adalah Ibadah, dan hanya kepada-Mu lah kami mohon pertolongan adalah Ubudiyyah. Hanya Engkaulah yang kami sembah adalah Farq, dan hanya kepada-Mu lah kami mohon pertolongan adalah Jam'. Kedekatannya dengan Allah menyebabkan ia banyak mempunyai karomah, di antaranya: Al-Mursi telah mengabarkan siapa penggantinya setelah ia meninggal. Orang itu adalah Syaikh Yaqut al-Arsyi yang lahir di negeri Habasyah. Suatu ketika ia meminta murid-muridnya agar membuat A'sidah (sejenis makanan). Iskandariyah pada saat itu tengah musim panas. Karena heran ada seseorang yang bertanya: "Bukankah A'sidah itu untuk musim dingin?". Dengan tenang al-Mursi menjawab: "A'sidah ini untuk saudara kalian Yaqut orang Habasyah. Dia akan datang kesini." Ada seseorang yang datang menghadap al-Mursi dengan membawa makanan syubhah (tidak jelas halal-haramnya) untuk mengujinya. Begitu melihat makanan itu al-Mursi langsung mengembalikannya pada orang tersebut sambil berkata: "Kalau al-Muhasibi hendak mengambil makanan syubhah, otot tangannya bergetar, maka 60 otot tanganku akan bergetar." Pada suatu masa perang, penduduk Iskandariyah semua mengangkat senjata untuk berjaga-jaga menghadapi serangan musuh. Demi melihat hal ini, Syaikh al-Mursi mengatakan: " Selama aku ada di tengah-tengah kalian, maka musuh tidak akan masuk." Dan memang musuh tidak masuk ke Iskandariyah sampai Syaikh Abu Abbas al-Mursi meninggal dunia.

Syaikh Abu Abbas al-Mursi: Khalifah Besar Syadziliyah

Syaikh Abu Abbas al-Mursi: Khalifah Besar Syadziliyah

Munajat Ibnu Athoilah As Sakandari

TUHANKU ,KELUARKAN AKU DARI HINANYA DIRI,SUCIKAN AKU DARI KERAGUAN DAN SYIRIK SEBELUM MASUK LIANG KUBUR! KEPADAMU AKU MEMINTA PERTOLONGAN. MAKA, TOLONGLAH AKU! KEPADAMU AKU BERSANDAR MAKA JANGAN TINGGALKAN DIRIKU! DI PINTUMU AKU BERSIMPUH MAKA JANGAN KAU USIR AKU! KEPADAMU AKU MEMINTA MAKA JANGAN KECEWAKAN DIRIKU! SERTA KARUNIAMU YANG KUINGINKAN MAKA JANGAN KAU HARAMAKAN AKU DARINYA!"

Sabtu, 25 April 2015

Mutiara Maulana Syeh Hisyam Al Kabbani

A’uudzu bilaahi minasy syaythaanir rajiim Bismillahir rahmaanir rahiim Allaahumma shalli ‘alaa Muhammadiw wa ‘alaa aali Muhammadiw wa sallim Allah Allah, Allah Allah, Allah Allah, `Aziz Allah Allah Allah, Allah Allah, Allah Allah, Karim Allah Allah Allah, Allah Allah, Allah Allah, Subhan Allah Allah Allah, Allah Allah, Allah Allah, Sulthan Allah Allah SWT Dia adalah Sulthan, Dia adalah Sang Pencipta. Dia adalah Satu yang tidak seorang pun tahu. Di hadapan `azhamat Allah SWT, Kebesaran, tiada satu pun yang nampak. `Azhamatullah Kebesaran-Nya tak dapat digambarkan. Kebesaran-Nya tak mungkin dimengerti. Fokus utama dalam setiap buku agama di dunia ini adalah Allah SWT. Dan semua buku yang ditulis di dunia ini dianggap tidak berarti, bahkan tidak satu partikel pun, tidak, tidak sebuah atom pun, mereka tiada artinya dibandingkan dengan kalimat Allah SWT. Satu-satunya yang penting dan besar dari segala ilmu (`ilm) adalah al-Quran. Segera setelah al-Quran dalam skala pentingnya adalah Hadis Nabi SAW. Jadi `azhamat Allah SWT, `azhamatullah, tak dapat diuraikan dalam bentuk apapun, dalam buku apapun selain al-Quran dan al-Hadis. Dan apa yang al-Quran ungkapkan dan uraikan hanyalah sebuah informasi untuk kita, dan kenyataan (haqiqat) dan rahasia `azhamat-Nya masih tetap tersembunyi – itu tetap merupakan sebuah rahasia dalam al-Quran. Itulah sebabnya mengapa diukur dari `azhamat Nya, segala sesuatu lainnya hilang, seperti tidak ada. Marilah kita meninjau dunia ini, untuk memberikan sebuah amsal (contoh) dari dunia ini, karena kita tidak dapat memberikan contoh dari akhirat, dari Sumber Langit. Seekor semut tidak nampak dibandingkan dengan seekor singa, itu adalah tidak berarti. Seekor semut dibanding dengan seekor gajah tidak berarti apa-apa. Semut itu di hadapan gajah, dengan tubuhnya yang besar sekali, (seperti) tidak ada. Jadi semut itu tidak (akan) melukai gajah itu. Bahkan jutaan semut bagi gajah tidak akan melukainya. Kadang-kadang engkau melihat, dalam dokumentasi masalah binatang (video), burung-burung bertengger di atas gajah. Mereka tidak melukainya. Banyak semut mungkin mendaki gajah, itu tidak mengganggunya. Namun semut-kepada-semut, meskipun mereka sangat kecil, mereka saling melihat bahwa lawannya adalah besar. Mereka (masing-masing) berpikir bahwa mereka adalah pemilik alam semesta ini sambil berkata, sayalah Sang Semut! Dan semut lainnya berkata, sayalah Sang Semut lainnya! Itu adalah contoh kita. Kita seperti seekor semut–dan bahkan seekor semut pun bukan–-dalam alam semesta yang luar biasa besarnya ini. Engkau tidak dapat membuat perbandingan dengan Sang Pencipta. Tetapi buatlah perbandingan dirimu dengan bumi ini. Engkau melihat dirimu sebagai tidak berarti dibandingkan dengan bumi ini. Dan bumi ini dengan isinya, dibanding dengan galaksi yang kita berada di dalamnya, bukanlah apa-apa. Dan galaksi-galaksi ini, dan galaksi kita dibanding dengan galaksi-galaksi lain bukanlah apa-apa, itu hanya kecil saja. Jadi mengapa semut dengan semut saling berkelahi dan untuk apa? Mengapa manusia saling berkelahi, bila mereka adalah seperti semut dibandingkan dengan alam semesta ini? Wahai bani Adam AS, tiada satupun yang akan mengisi (memenuhi) matamu dari keserakahan kecuali debu kuburan. Hanya bila mereka menaburkan debu pada matamu, ketika mereka menimbunmu dengan debu di situ, maka Allah SWT akan membuat kamu melihat dan mendengar. Mereka melemparkan debu (tanah) kepadamu. Minhum khalaqnakum, wa fihum nu`idukum, wa minhum nukhrujukum tawratan ukhra. Dari (tanah-bumi) Kami menciptakan kamu, dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu, dan dari padanya Kami akan mengeluarkanmu sekali lagi. [QS 20:55] Inna lillahi wa inna ilayhi raji`un. – “Dari Allah SWT kami berasal, dan kepada Nya kami kembali.” [QS 2:156] Pada saat itu kamu berkata, ”Ya Rabb omong-kosong apa pula yang telah kami jalani dalam kehidupan ini? Kamu melihat dirimu pada waktu itu, dan menyadari bahwa apa yang kamu lakukan tidak lagi dapat diperbaiki, itu sudah selesai. `Azhamatullah, Kebesaran Allah SWT, tidak dapat dibandingkan dengan apapun. Itulah sebabnya ketika kita mengatakan astaghfirullah ul-`azhim, saya memohon ampunan dari Allah al Azhim, kami memohon ampunan (istighfar) dari dosa-dosa kami. Dan apa yang kita katakan? Kita tidak hanya berkata astaghfirullah, apa yang kita katakan? Kita lanjutkan dengan al-`azhim. Kita katakan Astaghfirullah ul-`azhiim.. Kita membawa-bawa Kebesaran-Nya, meletakkan dosa kita di hadapan `azhamatullaah. Engkau meletakkan dosamu di hadapan `azhamat itu. Dosa apa yang masih akan tinggal? Mereka hilang (menghilang). Di hadapan Kebesaran Allah SWT segala sesuatu hilang. Sebuah contoh dari kehidupan kita sehari-hari adalah seekor semut mendatangi seekor gajah. Apapun yang dilakukannya kepada gajah itu tidaklah berarti apa-apa. Itu artinya bila engkau bertobat atas dosamu di hadapan `azhamat Allah SWT, dosa itu dibanding dengan Kebesaran-Nya menjadi tidak berarti. Allah SWT sepenuhnya melupakan dosa itu dan membuangnya habis. Dan itulah sebabnya kita memohon tobat sambil mengucapkan, Astaghfirullah al-`azhim. Kita memohon ampunan Allah SWT, min kulli zhambin `azhiim–-dari segala dosa besar. Saya memohon ampunan Allah SWT melalui `azhamat-Nya. Bahwa di hadapan `azhamat- Nya, Kebesaran-Nya, segala sesuatu menjadi hilang. Bila seseorang sakit oleh kanker darah, leukemia, bagaimana mereka menanganinya? Mereka memberinya darah baru setiap kali; betul? Karena darah lamanya telah mati, itu telah dimakan (oleh sel kanker). Tiada lagi ada kehidupan di dalamnya. Mereka memberinya darah baru dan itulah yang mempertahankan hidupnya. Jika mereka membiarkan darah (lama) di dalam tubuhnya, orang itu akan meninggal. Karena orang itu tidak dapat hidup dengan sesuatu yang telah dimakan, sesuatu yang kotor, sesuatu yang tidak ada kehidupan di dalamnya. Tidak lagi ada mineral dan vitamin di dalamnya; itu gelap dan jahat dan sangat merusak bagi kehidupan dirinya. Dia akan mati. Untuk menolongnya mereka harus memberinya darah baru, yang sepenuhnya diperkaya dengan oksigen yang dapat menyegarkan hidupnya kembali dan menjaga siklus peredaran dalam dirinya tetap hidup. Allah SWT meletakkan hikmah dalam segala sesuatu. Kita harus mengerti Kebesaran-Nya. Dia menunjukkan kepada kita. Lihatlah di kala darahmu kotor kamu akan mati. Engkau harus memiliki darah baru karena darah mengalir ke tiap sel dalam tubuh, setiap jalan darah di tubuh, setiap pipa kapiler di tubuh. Ilmuwan mengatakan bahwa jika mereka mengambil setiap jalan darah yang terdapat dalam tubuh, dengan semua pipa kapilernya, jalan darah yang sangat sangat lembut ini yang tidak dapat kamu lihat dengan mata normal kamu, yang digunakan oleh darah untuk mengalir, dan mengatur mereka dalam satu jalur dari awal kembali ke awalnya, mereka akan merentang sejauh jarak dari bumi ke rembulan. Lihat pada `azhamatullah. Dia memberi tahu kita melalui penemuan ilmu pengetahuan (sains) bahwa jalan darah dan pipa kapiler itu, jika disambung dari awal sampai akhir semuanya akan merentang suatu jarak dari bumi ke rembulan. Berapa panjang jarak dari bumi ke rembulan (bertanya kepada Bapak Sutono)? Kamu tidak tahu? Bukankah kamu seorang ahli fisika (physicist), seorang ilmuwan? Itu adalah 300.000 km dalam jangka besaran itu. Dan kecepatan cahaya adalah 300.000 km per detik. Itu artinya bahwa dalam satu detik bergerak dengan kecepatan cahaya, cahaya itu akan menempuh 300,000 km. Jadi dari bumi ke rembulan cahaya mencapainya dalam satu detik. Dan Allah SWT menggambarkan Nabi SAW sebagai sirajan munira, beliau adalah rembulannya kemanusiaan. Beliau adalah satu yang memberikan cahaya dalam gelapnya malam. Matahari mewakili sumber cahaya. Rembulan adalah pemantul cahaya itu. Matahari digambarkan sebagai sumber cahaya dari Hadirat Ilahi. Dan rembulan digambarkan sebagai pemantul cahaya itu, karena rembulan tidak memiliki cahaya sendiri, itu hanya memantulkan cahaya matahari. Dan Nabi SAW digambarkan sebagai rembulan. Jadi pantulan dari Sumber Surgawi digambarkan oleh matahari: wasy-syamsi wa dhuhaaha, wal-qamari idzaa talaahaa Demi matahari dan cahayanya yang gemilang, dan dengan rembulan yang mengikuti-nya (matahari) [QS 91: 1,2]. Matahari dan sumber cahayanya dan rembulan yang mengikutinya dan menyebarkan sinarnya bagi yang membutuhkannya. Jadi rembulan adalah pemantul cahaya, itu artinya Nabi SAW yang digambarkan sebagai rembulan—memantulkan semuanya (yang ia tangkap dari matahari) kepada kita. Dan ilmuwan, seperti yang kita katakan, mendapatkan bahwa panjang seluruh saluran darah, pipa kapiler dan limfoid (kelenjar getah bening) seluruhnya akan merentang jarak antara bumi dan rembulan. Itu artinya jarak dari bulan kepadamu, jarak seluruh saluran darah, pipa kapiler yang dialiri darahmu, adalah 300.000 kilometer. Itu artinya antara kamu dengan haqiqat, ma`rifat, kebenaran dan pengertian Hadirat Ilahi, terdapat sebuah jarak, dan jarak itu adalah jarak antara pintu Nabi SAW dan dirimu: jarak itu adalah 300.000km. Sebagaimana jarak antara rembulan dan bumi, sebagaimana Nabi SAW adalah pemantul Cahaya Surgawi, dan dia adalah pemantul yang memantulkan cahaya itu, begitu juga jarak antara dia dan kamu adalah 300.000 (apa satuannya?). Jadi, jika sistem kalian bersih, dan (sistem) itu tidak mengandung limfosit (sel darah putih yang ganas) dan darah kotor, dalam satu detik Nabi SAW dapat mencapai kamu dan kamu dapat mencapai Nabi SAW dalam satu detik, pada (dengan?) kecepatan cahaya. Dan jarak itu menggambarkan tubuhmu dan apa yang menjadi isinya. Jika seseorang memiliki darah kotor, sebuah kanker dalam sistemnya, itu artinya seluruh saluran darah, pipa kapiler dan penampungan darah sepanjang 300.000km, adalah kotor. Itu artinya bahwa seluruh sistem telah tercemar oleh darah yang mati itu. Jadi apa yang harus mereka lakukan? Mereka harus membawa darah baru secara lengkap (paripurna) untuk memperbaharuinya dan untuk mempertahankan sistem itu berfungsi, dan jika engkau dapat mempertahankan (sistem) itu bersih secara paripurna, itu artinya tubuhmu akan tetap hidup. Jika engkau tidak dapat mempertahankan (sistem) itu bersih, itu artinya engkau tewas. Dan seorang yang mati apa yang diperlukan? Dimasukkan ke dalam kubur dan ditimbuni tanah. Kubur itu akan membersihkannya, karena (tanah) itu memakan kotoran (tubuhnya). Lendir (ludah) anjing adalah najas [mengotori secara ritual]. Sesuai dengan syari`ah apa yang akan membersihkannya? Tanah, debu. Engkau harus membersihkannya enam kali dengan air dan sekali dengan debu agar supaya tanganmu menjadi bersih secara ritual. Dalam contoh ini berarti debu membersihkan semuanya. Darahmu itu (termasuk) semuanya itu. Jika engkau memiliki hati yang mati dan darah yang mati, engkau telah kehilangan segalanya. Jadi apa yang kamu perlukan pada saat seperti itu: engkau memerlukan sebuah pengasingan untuk melepaskan dirimu dari dunya sama seperti engkau pergi ke rumah sakit untuk mengganti darahmu ketika itu tercemar–sama secara analogi engkau masuk ke dalam pengasingan untuk membersihkan darah bersifat kanker dan untuk memasukkan darah baru yang membuat engkau mampu mencapai rembulan– nur (cahaya) Sayyidina Muhammad SAW. Setiap kali kamu memerlukan penggantian darah, engkau harus mengatakan Astaghfirullah al-`Azhim wa atuubu ilayh. Istighfar itu mengganti darah mati itu menjadi darah bersih. Itu menjadikan darah penuh dengan kehidupan. Hidupmu adalah istighfar. Tiada satu pun memberikan kehidupan sehingga hati di dunia akan menjadi tersambung dengan asal-muasalnya Inna lillahi wa inna ilayhi raaji`un — “Kami milik Allah SWT, dan kepada-Nya kami kembali,” kecuali istighfar. Hal satu-satunya yang dapat memberimu kehidupan itu adalah istighfar. Serta-merta engkau membuka mulut untuk mengatakan Astaghfirullah, sebelum mencapai al-`Azhiim, para malaikat akan (sudah) mengerjakan jantungmu memompa darah baru. Itu karena `azhamat-Nya Luar Biasa Besar-Nya (sehingga) tiada kotoran dapat terbentuk (eksis). Di hadapan Kebesaran Luar Biasa-Nya tidak ada satupun bisa eksis. Ketika kamu menyebut Kebesaran-Nya dengan mengatakan, Engkau adalah al-`Azhim! Apalah sekedar dosaku ini, aku memohon ampunan dan aku bertobat kepada-Mu, maka serta-merta para malaikat membuang setiap kekotoran dari darah itu dan meletakkan sesuatu dari cahaya Kebesaran-Nya ke dalam hatimu. Beberapa pasien kanker ditangani dengan kemoterapi. Kemoterapi membunuh pemekaran sel kanker itu, menghentikan sel mati itu atau mencegah pemekaran sel kanker yang memakan sel lainnya yang masih sehat. Jadi kemoterapi menggunakan semacam sinaran bersamaan dengan obat-obatan yang menghentikan kanker di dalam tubuh. Begitu juga dengan `azhamatullah. Segera setelah engkau mencapai (pada pengucapan) al-`azhim, apa yang dapat bertahan di hadapan `azhamat-Nya? Tiada suatu pun dapat menjadi hambatan antara kamu dengan Kebesaran-Nya. Dengan Kebesaran-Nya, Allah SWT menghancurkan setiap kekotoran dengan cahaya itu yang dibawa oleh para malaikat. Terdapat malaikat khusus yang diciptakan dari Kebesaran-Nya yang membawa cahaya dari Kebesaran-Nya, menunggu para abdi untuk (yang ingin) bertobat. Kemudian mereka datang lengkap dengan semua dukungan mereka untuk membakar habis penyakit kanker yang mengenai sistemmu. Untuk secara paripurna memusnahkan kebusukan dan setan dan kegelapan yang mengenai hatimu dan menggantikannya kembali menjadi hidup. Hidup yang dimaksudkan di sini berarti cahaya yang membawa kembali cahaya ke dalam hatimu lagi, sehingga dengan memompanya itu akan membawamu kepada pintu Nabi SAW dan dari Nabi SAW kepada Pintu Allah SWT. Apabila engkau telah bersih dan engkau siap untuk menerima Sumber Surgawi, Setan mendatangimu pada saat lain dan membuatmu kotor (lagi). Maka hari berikutnya kamu harus membersihkan dirimu sekali lagi. Kemudian hari berikutnya Astaghfirullah al-`azhim wa atuubu ilayh Astaghfirullah al-`azhim wa atuubu ilayh. Astaghfirullah al-`azhim wa atuubu ilayh seratus kali. Mengapa seratus kali? Untuk membersihkan kembali dari kekotoran yang Setan cemarkan kepada darah surgawi yang berada dalam dirimu, yang telah ia gelapkan (kotori) lagi. Engkau dapat melihat bercak-bercak gelap di dalamnya, dan engkau harus membersihkannya kembali. Mengapa seratus kali? Karena engkau meminta dari Kebesaran Allah SWT `azhamat dan setiap asma ‘ul-husna Allah SWT memiliki cahaya yang berbeda dan kekuatan yang berbeda. Allah SWT memiliki 99 Nama, dan Nama yang meliputi (mencakup itu semua) adalah Allah SWT, sehingga menjadi seratus Nama yang para `ulama anggap sebagai Nama terkemuka (dan para `ulama tahu bahwa Allah SWT memiliki banyak sekali Nama lainnya). Sehingga terdapat 99 Nama dan dengan Nama Utama Allah SWT menjadikan itu seratus. Jadi dengan jalan istighfar, kita memohon untuk menggapai dari setiap Nama–seperti sebuah pelangi– sebuah cahaya `azhamat yang berlain-lainan untuk membersihkan diri kita dan menyegarkan diri kita dan membawa kita kembali kepada hidup. Kemudian Allah SWT akan mendadani kamu dengan cahaya dari setiap Nama. `azhamat itu datang untuk memusnahkan penyakit kanker itu yang akan menghancurkan kamu. Dan kemudian hari berikutnya kamu berada dalam situasi seperti itu lagi (terpengaruh setan). Kemudian kamu membaca lagi seratus (istighfar), saat lain mereka mencoba kamu lagi dan kemudian mereka memberimu lagi lebih banyak, mereka masih membersihkan kamu saat lain lagi. Itu artinya kamu seperti lampu-lampu ini (yang berada di ruang ini). Mereka itu hanya (berkekuatan) 20 atau 60 watt. Engkau tidak memberi cahaya (terang) lebih dari itu. Kini malam ini lampu-lampu berkekuatan berapa watt? 25-30 atau berapa pun itu. Hanya itulah yang dapat kamu capai, karena di siang hari engkau melakukan istighfar. Maka pada waktu malam larut ketika kita duduk di sini sebelum salat al-Fajr, ketika fajar belum menyingsing dan kamu masih belum dapat melihat (hari masih gelap)–20 watt itu yang kamu miliki sudahlah mencukupi. Ketika kamu mulai membaca istighfar, cahaya (mu?) itu mulai bertambah. 20 atau 30 watt atau berapa pun besarnya itu, bertambah. Namun ketika fajar menyingsing cahaya (mu?) menjadi seperti tidak ada apa-apanya. Jadi apa yang terjadi? Cahayamu kembali menjadi nol, karena Setan membawamu kembali dan membawamu kembali dan membawamu kembali. Sehingga lampu dengan watt yang rendah itu tidak lagi berguna. Engkau telah membuat cahaya yang engkau miliki menjadi mati. Cahaya itu hanya memberikan terang di sekitarnya pada jarak yang pendek, karena (lampu) itu tidak meningkat kekuatannya. Itu hanya akan selalu 20 watt atau 30 watt. Mengapa? Karena setiap hari memusnahkan (diri) nya. Setiap hari engkau membuat istighfar, dan itu membuatnya normal kembali, tetapi itu tidak menambah (kekuatannya). Itu tidak menimbulkan “cahaya atas cahaya”– nur `ala nur”. Kita akan tetap pada kekuatan 20 watt, itulah sebabnya kita berada pada batas (limit), batas yang harus bertobat lagi pada hari berikutnya. Itulah sebabnya kita berlari-lari dan menjadi lelah dan tidak mencapai apa yang Allah SWT kehendaki atas kita untuk mencapainya dan apa yang Nabi SAW kehendaki kita mencapainya. Awliya Allah SWT, ketika mereka dibersihkan dengan jalan istighfar, Allah SWT memberikan kepada mereka hal yang sama dengan yang diberikan-Nya kepada kita. Namun mereka tidak mengotori atau mencemari darah mereka dengan lukemia setiap kalinya. Mereka mempertahankannya tetap bersih, sehingga keesokan harinya, ketika mereka menerima lebih banyak lagi (cahaya surgawi), itu menambah (menjadi lebih besar dari sebelumnya). Jadi lampu 20 watt menjadi 40 watt, hari berikutnya itu menjadi 60 watt, hari setelah itu menjadi 80 watt, hari setelah itu menjadi 100 watt, hari setelah itu menjadi 200, hari setelah itu menjadi sebuah lampu sorot (spotlight) yang memberikan penerangan yang lebih gemilang, sebuah lentera besar. Di situlah letak perbedaan antara awliya Allah SWT dengan kita, karena kita kembali lagi ke belakang melalui siklus kekotoran yang sama setiap hari dalam kehidupan kita sehari-hari, curang, menipu, bergunjing, membuat segala macam dosa setiap kali dan berkali-kali. Para awliya berusaha untuk melindungi diri mereka – untuk menyingkirkan segala dosa yang akan mencemari darah mereka sehingga mereka menjadi lebih gemilang dan gemintang setiap kali dan hubungan mereka dengan Nabi SAW akan lebih kuat. Tidak terdapat kebocoran dalam pipa yang menghubungkan mereka dengan Nabi SAW. Tidak terdapat lubang (bocor) dalam pipa itu, sehingga tidak ada jalan bagi air (yang mengalir dalam pipa itu) untuk lolos terbuang, dan untuk alasan ini mereka menerima informasi (surgawi) yang tidak kita terima. Setiap hari mereka akan didandani dengan busana asma ‘ul-husna Allah SWT yang lebih banyak dan lebih banyak lagi. Mereka tidak mencemari cahaya itu. Dengan spotlight yang awliya Allah SWT miliki mereka dapat melihat ke jarak yang lebih jauh lagi. Lihatlah, ketika sebuah pesawat terbang akan mendarat, dia memiliki sebuah spotlight yang besar, yang dengannya pilot itu dapat melihat satu mil kedepan. Tetapi kalau kamu hanya memiliki lampu minyak tanah atau sebuah lilin apa yang dapat kamu lihat (dalam gelap)? Tak satupun. Engkau hanya dapat melihat empat diding ruangan ini. Itulah sebabnya awliya dapat melihat hati murid mereka. Mereka dapat melihat apa yang akan terjadi di waktu mendatang. Allah SWT menganugerahi mereka kekuatan itu. Bagi mereka itu bukanlah masa mendatang. Cahaya mereka dapat mencapainya dengan segera, karena Allah SWT memberi mereka sebuah cahaya dengan intensitas tinggi. Mereka dapat mengarahkan cahaya itu dan melihat jauh ke depan. Ada awliya yang dapat melihat satu mil ke depan. Beberapa di antara mereka dapat meningkatkan (kecemerlangan) cahaya mereka dan melihat dua mil. Beberapa dapat melihat seratus mil ke depan. Ada awliya yang dapat melihat jarak yang ditempuh sedetik kecepatan cahaya. Ada awliya yang dapat melihat sejauh satu menit perjalanan cahaya. Ada awliya yang dapat melihat sejauh seratus tahun perjalanan cahaya. [Apa yang dapat mereka lihat] tidak lagi diukur sebagai jarak; melainkan dalam perjalanan tahun cahaya. Beberapa Awliya Allah SWT dapat melihat satu juta tahun perjalanan cahaya. Itulah sebabnya mereka dapat melihat asal usulmu, di mana kamu terletak di antara berbagai bintang-gemintang itu. Dan mereka dapat mengambil informasi tentang dirimu dari visi yang Allah SWT karuniakan kepada mereka. Ittaqqu firasat al-mu’min fa innahu yandhuru binAllah–Hati-hatilah dengan pandangan (visi) orang beriman (wAllah SWTi), karena sesungguhnya mereka melihat dengan Cahaya Allah SWT. Cahaya itu Allah SWT berikan kepada mereka dari Cahaya-Nya. Wa min Allahi at-tawfiq, bi-hurmatil Fatiha

Nasehat Syeh Nadzim Al Haqqoni

Kebebasan tanpa batas, menjadi sumber semua persoalan” Mawlana Sheikh Nazim Dengan Asma Allah, yang Maha Pengasih dan Penyayang. Audhu billahiminash shaytanirrajim, Bismillahir Rahmanir Rahim, alhamdulillahi Rabbil alamiin. Ketika kalian tahu bahwa sesuatu perbuatan adalah dosa, kalian harus menghindarinya. Meskipun demikaian kadang-kadang dosa kita lakukan tanpa sengaja. Ketika hal ini terjadi, kalian merasakan sangat menyesal, yang akan terus menghantui dirimu sepanjang hidup atau bahkan sesudahnya. Sampai dengan Hari Pengadilan. Oleh karena itu Kita wajib untuk mohon perlindungsn Allah agar tidak melakukan kesalahan tersebut. Kadang-kadang kalian ingat kembali atas dosa itu, api akan menyala didadamu. Kalian akan mempertanyakan kenapa aku lakukan dosa itu. Maka setiap kalian melakukan shalat untuk perlindungan, mohonkan agar dilindungi dari berbuat kesalahan. Namun ego kita selalu mengambil langkah yang salah. Dia tidak ingin mengikuti tuntanan Baginda Nabi. Khususnya bagi anak-anak muda zaman sekarang. Mereka menuntut kebebasan. Kebebasan mereka artikan sebagai boleh melakukan apa saja yang disukai. Apapun yang disukai egonya. Namun setiap kali kalian menuruti egomu, kalian sedang dalam bahaya. Mungkin pada awalnya akan dirasakan kesenangan. Namun akan berakhir buruk. Semua hal-hal yang buruk akan dirasakan sebagai kenikmatan pada awalnya. Tapi akhirnya akan sangat mengerikan. Dan mereka sangat menyesal. Sekarang ini sedang zamannya untuk menuntut kebebasan, kebebasan dan kebebasan. Padahal dimanapun diberikan kebebasan, disana tidak ada disiplin !. Sebagai contoh kita lihat sebuah sekolah. Kalau tidak diajarkan disiplin, murid2nya tidak akan siap untuk menghadi pekerjaan dan masa depannya. Kalau murid-murid untuk bebas sepenuhnya didalam sekolah, tidak seorangpun akan lulus ujian. Tidak ada yang belajar tentang sesuatu. Kita ini semua pernah sekolah. Dan kita sangat senang kalau bapak atau ibu guru hadir terlambat.tau bahkan sama sekali tidak hadir. Kita merasa sedang libur. Maka kalau masarakat berbuat bebas sekehendaknya maka tidak akan ada disiplin. Permasalahan yang paling besar bagi setiap pemerintahan maupun masarakat ialah “kebebasan” ini. Setiap hari akan terjadi banyak pengaduan. “ Anak laki-laki saya melarikan diri…., anak gadis saya minggat….., isteri saya meninggalkan saya…., suami saya menghilang,… ibu saya tak pernah mengunjungi saya…..” Itu semua adalah buah yang dipetik dari kebebasan yang berlebihan !. Ini adalah penyakit terbesar di zaman sekarang. Dan juga sumber dari semua persoalan. Orang-orang mencoba menyalahkan keadaan ekonomi, namun itu merupakan kebohongan. Dengan issu ini mereka menyembunyikan sumber sebenarnya. Bukan soal ekonomi. Ini adalah masah kepribadian kita !. Ini adalah hasil dari sistem pemerintahan kita. Hasil dari hasrat yang tidak henti-hentinya menuntut kebebasan. Dan tidak bisa dituntaskan dengan cara-cara kebebasan. Uang tidak menyelesaikan masalah. Ketika anak gadismu minggat, dapatkah uang membawanya pulang ?. Kota kita ini seharusnya ditutup kegiatannya sesudah matahari terbenam. Karena disaat itulah kejahatan keluar dengan kekuatan 100 %. Baginda Nabi, Muhammad saw,-semoga kedamaian menyertai beliau,- berkata: “ Jangan biarkan anak-anak kecilmu, berada diluar rumah setalah matahari terbenam. Karena saat itulah jin memunculkan diri. Apabila kalian biarkan mereka diluar, maka 7 setan akan membayangi anak laki-laki mu. Dan 70 setan mengikuti anak perempuanmu” Namun saat ini orang menerapkan cara hidup yang salah. Di negara-negara Barat ada begitu banyak setan yang berupa manusia. Mereka terpampang di majalah, surat kabar, siaran radio dan televisi, dvd, bioskop ……, semuanya menyesatkan manusia. Bahkan sekolah-sekolah, kurusus, dan universitas pun menyesatkan murid. Bahkan banyak pemerintahan yang membohongi rakyatnya. Semoga Allah mengampuni mereka.

Mutiara Nasehat Al Habib Umar bin Hafidz

1. Penuhilah hatimu dengan kecintaan terhadap saudaramu niscaya akan menyempurnakan kekuranganmu dan mengangkat derajatmu di sisi Allah 2. Barang siapa Semakin mengenal kepada allah niscaya akan semakin takut. 3. Barang siapa yang tidak mau duduk dengan orang beruntung, bagaimana mungkin ia akan beruntung dan barang siapa yang duduk dengan orang beruntung bagaimana mungkin ia tidak akan beruntung. 4. Barang siapa menjadikan kematiaannya sebagai pertemuan dengan sang kekasih (Allah), maka kematian adalah hari raya baginya. 5. Barang siapa percaya pada Risalah (terutusnya Rasulullah), maka ia akan mengabdi padanya. Dan barang siapa percaya pada risalah, maka ia akan menanggung (sabar) karenanya. Dan barang siapa yang membenarkan risalah, maka ia akan mengorbankan jiwa dan hartanya untuknya. 6. Kedekatan seseorang dengan para nabi di hari kiamat menurut kadar perhatiannya terhadap dakwah ini. 7. Betapa anehnya bumi, semuanya adalah pelajaran. Kukira tidak ada sejengkal tanah di muka bumi kecuali di situ ada ibrah (pelajaran) bagi orang yang berakal apabila mau mempelajarinya. 8. Sebaik-baik nafsu adalah yang dilawan dan seburuk-buruk nafsu adalah yang diikuti. 9. Tanpa menahan hawa nafsu maka manusia tidak akan sampai pada Tuhannya sama sekali dan kedekatan manusia terhadap Allah menurut kadar pembersihan jiwanya. 10. Jikalau sebuah hati telah terbuka, maka akan mendapatkan apa yang diinginkan. 11. Barang siapa yang mempunyai samudra ilmu kemudian kejatuhan setetes hawa nafsu, maka hawa nafsu itu akan merusak samudra tersebut. 12. Sesaat dari saat-saat khidmat (pengabdian) , lebih baik daripada melihat arsy dan seisinya seribu kali. 13. Menyatunya seorang murid dengan gurunya merupakan permulaan di dalam menyatunya dengan Rasulullah SAW. Sedangkan menyatunya dengan Rasulullah SAW merupakan permulaan untuk fana pada Allah (lupa selain Allah) 14. Manusia di setiap waktu senantiasa terdiri dari dua golongan, golongan yang diwajahnya terdapat tanda-tanda dari bekas sujud dan golongan yang di wajahnya terdapat tanda-tanda dari bekas keingkaran. 15. Barang siapa yang menuntut keluhuran, maka tidak akan peduli terhadap pengorbanan. 16. Sesungguhnya di dalam sujud terdapat hakikat yang apabila cahanya turun pada hati seorang hamba, maka hati tersebut akan sujud selama-lamanya dan tidak akan mengangkat dari sujudnya. 17. Beliau RA berkata tentang dakwah, Yang wajib bagi kita yaitu harus menjadi daI dan tidak harus menjadi qodli atau mufti (katakanlah wahai Muhammad SAW inilah jalanku, aku mengajak kepada Allah dengan hujjah yang jelas aku dan pengikutku) apakah kita ikut padanya (Rasulullah) atau tidak ikut padanya? Arti dakwah adalah memindahkan manusia dari kejelekan menuju kebaikan, dari kelalaian menuju ingat kepada Allah, dan dari keberpalingan kembali menuju kepada Allah, dan dari sifat yang buruk menuju sifat yang baik. 18. Syetan itu mencari sahabat-sahabatnya dan Allah menjaga kekasih-kekasih- Nya. 19. Apabila ibadah agung bagi seseorang maka ringanlah adap (kebiasaan) baginya dan apabila semakin agung nilai ibadah dalam hati seseorang maka akan keluarlah keagungan adat darinya. 20. Bila benar keluarnya seseorang (di dalam berdakwah), maka ia akan naik ke derajat yang tinggi. 21. Keluarkanlah rasa takut pada makhluk dari hatimu maka engkau akan tenang dengan rasa takut pada kholiq (pencipta) dan keluarkanlah berharap pada makhluk dari hatimu maka engkau akan merasakan kenikmatan dengan berharap pada Sang Kholiq. 22. Banyak bergurau dan bercanda merupakan pertanda sepinya hati dari mengagungkan Allah dan tanda dari lemahnya iman. 23. Hakikat tauhid adalah membaca Al Qur’an dengan merenungi artinya dan bangun malam. 24. Tidak akan naik pada derajat yang tinggi kecuali dengan himmah (cita-cita yang kuat). 25. Barang siapa memperhatikan waktu, maka ia akan selamat dari murka Allah. 26. Salah satu dari penyebab turunnya bencana dan musibah adalah sedikitnya orang yang menangis di tengah malam. 27. Orang yang selalu mempunyai hubungan dengan Allah, Allah akan memenuhi hatinya dengan rahmat di setiap waktu. 28. Salah satu dari penyebab turunnya bencana dan musibah adalah sedikitnya orang yang menangis di tengah malam.

Nasehat Al Habib Ali Al jufri

Muslimedianews ~ Bagi orang yang alim akan mendapatkan ujian dari ilmunya. Bagi orang yang mendambakan kedekatan dengan Allah Swt., seringkali ia diuji dengan amalnya. Berikut adalah nasehat indah nan mulia dari al-Habib Ali Zainal Abidin bin Abdurrahman al-Jufri, da'i internasional dari Yaman. • Masihkan Diriku Merasa Alim? Jika kita merasa telah alim, dan sudah banyak ilmu yang kita peroleh, apa arti ilmu kita di hadapan ilmu Iblis. Ilmu apa yang tidak dia ketahui? Sayangnya, ia tidak mengamalkan ilmunya dan tidak tulus bersama Allah. Allah tidak menerimanya. Kalaupun ilmu kita diterima, apakah kita satu-satunya orang berilmu? Apa arti ilmu kita di hadapan orang-orang sebelum kita? Imam Ahmad bin Hanbal hafal ribuan hadits, begitupula Imam al-Hakim. Bagaimana kita akan tertipu dengan beberapa hadits yang kita hafal, namun tidak kita amalkan? Imam Syafi’i hafal al-Quran di usia 7 tahun. Ia juga hafal kitab hadits al-Muwaththa’, dengan seluruh sanadnya pada usia 10 tahun. Guru-gurunya, terutama Imam Malik, mendudukkannya di atas kursi tempat mereka berfatwa, ketika usianya belum genap 12 tahun. Sampai-sampai karena tubuhnya yang kurus, ia harus minum pada siang hari bulan Ramadhan, karena tidak kuat dan belum wajib berpuasa. Jadi, ia mengajar sambil minum di atas kursinya itu. Bagaimana ilmu kita dibandingkan ilmu mereka? Dengan karunia Allah yang diberikan kepada mereka? Soal dedikasi? Kita juga tidak perlu tertipu (dengan amal kita). Jika kita berjuang, kita berjuang dengan perut kenyang. Padahal orang-orang sebelum kita berjuang dengan perut lapar. Mereka tidak memiliki apa-apa selain sebiji kurma, atau bahkan separuhnya. Setelah itu mereka tidak mempunyai apa-apa lagi. Apabila orang beriman mau menelaah kehidupan orang-orang saleh zaman dulu, ia pasti tidak akan tertipu dengan amalnya. Ia akan melihat hakikat penyembahan kepada Allah, sehingga ia terpacu untuk terus meningkatkan amalnya dengan tetap menyadari bahwa amalnya itu tidak lain adalah anugerah Allah. • Istighfarku Perlu Diistighfari Rabi’ah al-Adawiyah pernah berkomentar singkat: “Istighfar kita sesungguhnya masih membutuhkan istighfar.” Beliau menguraikan lebih lanjut bahwa pada saat mengucapkan “Astaghfirullah... astaghfirullah…”, hatiku tidak tersambung kepada Allah. Hal ini tak ubahnya seperti meminta maaf kepada seseorang atas suatu kesalahan sambil tertawa “Hahaha, maafkan aku, maafkan aku” dan berlalu. Itu namanya kurang ajar. Minta maaf itu artinya merasa bersalah. Jadi, harus dilakukan dengan perasaan yang hancur dan penuh malu. (Dikutip dari: Al-Habib Ali al-Jufri dalam buku “Terapi Ruhani untuk Kita”, halaman 68 dan imtiyaz-publisher.blogspot.com).

Jumat, 24 April 2015

Kisah imam Ibrohim bin adham menolak pemberian laki- laki kaya

Seseorang pada suatu waktu ingin memberi uang kepada ibrohim bin adham r.a .Sang sufi berkata : jika anda kaya aku akan menerima uang anda, tetapi jika anda bangkrut aku tidak akan mengambilnya. Ya saya kaya , calon pemberi ini meyakinkan, lalu terjadilah percakapan antara keduanya." kalau begitu anda benar- benar kaya, berapa uang yang anda punya? Saya punya dua ribu dinar. Apakah anda ingin punya empat ribu dinar? Ya tentu saja.Apakah anda lebih suka untuk memiliki delapan ribu dinar? Ya tentu saja.Apakah anda akan lebih berbahagia jika anda memiliki sepuluh ribu dinar? Tidak di ragukan lagi tentu saja.lalu Imam Ibrohim berkata " anda mengatakan diri anda kaya, tetapi anda sama sekali bukan orang kaya.Anda bangkrut sebagaimana kebanyakan orang kaya, saya tidak akan menerima uang anda.Simpanlah uang yang anda mau berikan kepada saya.Tambahkan kepadanya selebihnya dan pergilah dengan berbunga hati.karna Harta kekayaan sejati bukan dari melimpahnya harta, barang serta perhiasan.tetapi kekayaan sejati ada dalam keridoan hati akan ketentuan Allah.
( Syeh Muzaffer Ozak Al jerahi)

Kisah Nabi Isa akan kemuliaan Rajab

Pernah Nabi isa as melewati suatu gunung yang sangat bercahaya, maka beliau memohon kepada Allah agar gunung itu dapat berbicara, maka berbicaralah gunung itu " wahai ruhallah apa yang kau mau? Nabi isa berkata ceritakanlah tentang dirimu bagaimana dapat bercahaya seperti ini, gunung itu menjawab sesungguhnya di dalam perutku terdapat seorang laki" yang sholeh, maka nabi isa as memerintahkan agar gunung itu mengeluarkan laki" tersebut, maka gunung terbelah dan keluarlah seseorang yang berwajah tampan ia berkata wahai isa aku adalah umat nabi musa , aku memohon kepada Allah agar memanjangkan umur ku agar dapat bertemu dengan zaman Nabi Muhammad saw dan karenanya aku menjadi umatNya , sesungguhnya aku telah beribadah di dalam gunung ini selama 600 tahun, maka Nabi Isa as berkata kepada Allah wahai tuhanku apakah ada yang lebih mulia dari laki" sholeh ini, di muka bumi menurut pandangan Mu , Maka Allah berkata wahai Isa barang siapa berpuasa 1 hari di bulan rajab dari umat Nabi Muhammad saw ialah orang yang mulia disisiku dibandingkan laki' sholeh itu.sumber : ( kitab nuzhatul majalis karya syeh Abdurrohman Asyofuri)

Keutamaan Puasa rojab

Diriwayatkan dari sahabat sauban r.a :
Sesungguhnya suatu ketika Nabi SAW pernah melewati beberapa kuburan, maka Nabi SAW menangis dan berkata wahai sauban sesungguhnya mereka semua sedang di azhab di dalam kuburnya maka Aku berdoa kepada Allah agar Allah  meringankan siksa mereka, wahai sauban seandainya mereka pernah berpuasa 1 hari dari bulan Rajab dan sholat di malam harinya sewaktu di dunia maka niscaya mereka tidak akan mendapat siksa dalam kuburnya. Lalu aku berkata :
" wahai Rosulullah apakah hanya dengan puasa 1 hari dan sholat dimalam rajab itu dapat menolak siksa kubur? Maka Nabi SAW bersabda : ya wahai sauban demi zat yang jiwaku ada ditangannya tidaklah muslim maupun muslimah berpuasa 1 hari dibulan Rajab dan sholat dimalam harinya terkecuali Allah menulis untuknya ibadah satu tahun siangnya puasa dan malamnya qiyamulail. 
Sumber : ( Kitab Nuzhatul Majalis karya Syekh Abdurrohman Ashofuri)

Kamis, 23 April 2015

Keutamaan kalimat tauhid

Syeh Muhammad Nawawi Al Bantani dalam kitabnya yang bernama Tanqihul Qoul berkata bahwa Al Imam Al Fakihani  berkata sesungguhnya melazimi berdzikir dgn kalimat lailahaillallah ketika hendak memasuki rumah dpt menyebabkan hilangnya kefaqiran.dan telah datang keterangan di dalam hadis yang mulia riwayat Imam Al Bukhori rodiyallahu anhu " Bahwa Nabi Muhammad saw bersabda Barang siapa mengucapkan laa ila ha illallah serta memanjangkan bacaannya maka di hapus baginya 4000 dosa - dosa besar , para sahabat berkata wahai Rosululloh bagaimana jika dia tidak memiliki dosa besar ? Sang Rosul SAW menjawab, maka Allah akan mengampuni dosa- dosa keluarganya dan tetangganya.........Subhanallah amalan yang begitu mudah akan tetapi mengandung pahala yang sangat besar disisi Allah SWT. Mari kita istiqomahkan untuk berdzikir dengan kalimat yang mulia ini , semoga kelak di saat - saat ruh kita akan menghadap Allah SWT, Allah taqdirkan lisan kita mudah untuk mengucapkan kalimat yang mulia ini serta wafat dalam keadaan mati khusnul khotimah

Senin, 02 Maret 2015

assalamulaikum wb wb

HADIRILAH GEMA SHOLAWAT, DZIKIR DAN KAJIAN KITAB RIYADUSSOLIHIN PADA HARI : SABTU, 7 MARET 2015 TEMPAT : MASJID AGUNG ATSAUROH SERANG WAKTU : 20:00 WIB